Senin, 22 Desember 2008

RATAPAN ORANG KECIL


Terlihat disekeliling banyak bermacam-macam orang yang berbeda yang tersegmentasi dalam dua perbedaan baik dan buruk, salah dan benar yang bersimbol malaikat sebagai yang baik dan iblis sebagai yang buruk lantas siapa yang salah karena keduanya memang harus berjalan berdampingan. Seorang anak kecil di depan supermarket itu menadahkan tangan dengan keringat bercucuran menahan letih dan rasa lapar yang menjerat perutnya, tubuh kurusnya seakan tertiup dihempas angin.

Fenomena diatas merupakan salah satu potret kehidupan di masyarakat kita yang mudah dijumpai di halte-halte bis, stasiun-stasiun kereta api dan di tempat-tempat umum lainnya, seorang bocah kecil yang seharusnya menikmati masa anak-anaknya, bercanda ria bersama teman-temannya, mengenyam pendidikan untuk masa depannya harus bercanda ria dengan pahitnya kehidupan berteman debu jalanan dan teriknya sang mentari. Kemiskinan dan kelaparan sudah menjadi hal yang biasa di negeri ini, konon katanya negeri ini gemah ripah loh jinawi tongkat ditancap tumbuh pohon betapa kayanya negeri ini hutan, laut, dan isi buminya bagaikan penawar dahaga ditengah gurun yang tandus tapi realitas seakan menyadarkan kita kalau ternyata semua itu berbanding terbalik. Pertanyaannya kemudian ada apa ini, kenapa ini bisa terjadi?

Orang-orang yang mempunyai kehidupan lebih dari cukup seolah-olah tidak mendengar jeritan mereka yang kelaparan, mereka dengan tenang bisa makan, mereka dengan tenang bisa beribadah dengan khusuk kepada Tuhannya padahal jelas dalam konsep zakat dalam Islam “bahwa ada hak orang-orang seperti mereka dalam setiap harta kita” ini pun dipertegas dalam alquran bahwa tidak akan diterima ibadah seseorang yang mampu untuk membantu selama dia membiarkan tetangganya kelaparan. Sementara pemerintah selaku yang mengatur semua kebijakan baik dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dll. Kemana mereka? Masih terlelapkah mereka dalam buaian mimpi indahnya, sudah butakah mereka dengan tumpukan- tumpukan kepentingan pribadi atau kelompoknya, ataukah mereka hanya bisa meratap sedih tanpa bisa berbuat apa-apa?

Setiap lima tahun sekali kita melakukan pesta demokrasi, melakukan pemilihan umum menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin dan wakil-wakil kita dalam membangun bumi pertiwi ini demi kesejahteraan masyarakat, dalam proses pemilihannya mereka semua menyerukan janji-janji akan memperbaiki setiap sektor demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat tapi ternyata itu hanyalah kedok belaka demi tercapainya keinginan dalam memegang tampuk kekuasaan. Seharusnya ini disadari sebagai sebuah amanat yang harus dilandasi dengan tanggung jawab yang besar bukan kemudian diartikan untuk memenuhi kepentingan pribadi maupun golongan darimana mereka berangkat sehingga tidak ada sikut-menyikut, korupsi dimana-mana, kolusi dan nepotisme yang implikasinya akan berdampak buruk pada tanggung jawab mereka dalam mensejahterahkan rakyat. Jangan heran kemudian kalau di negeri yang kaya ini masih banyak orang-orang yang kelaparan, anak-anak kecil yang semestinya berada di bangku sekolah harus berada di jalanan meminta-minta demi sesuap nasi, kasus kriminal meningkat yang mana ini semua tidak lepas dari mata rantai ketidakmampuan pemerintah saat ini dalam memperbaiki perekonomian yang terpuruk, pendidikan yang tertinggal jauh dari negara lain. Selayaknya kemudian kita merenungkan semua ini sebagai bahan refleksi dalam mengintrospeksi diri kita sebagai individu, sebagai makhluk sosial yang punya tanggung jawab terhadap orang lain, sebagai warga negara yang cinta akan bangsanya mari kita tumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab dan kepedulian terhadap sesama tanpa memandang latar belakang ras, golongan, dan agama tertentu.

Progresifitas perubahan merupakan sebuah keniscayaan yang harus terjadi sebagai konsekuensi logis bagi generasi penerus bangsa ini yang mempunyai keterkaitan kesejarahan dengan perjuangan kemerdekaan kalau kita flashback lagi pada era perjuangan pengusiran penjajahan dari negeri ini, pejuang-pejuang bangsa ini tidak mengenal takut bahkan nyawapun menjadi sesuatu yang murah yang menjadi tebusan bagi kemerdekaan bumi pertiwi. Oleh karena itu menjadi sebuah keniscayaan bagi kita untuk mengisi kemerdekaan ini sebagai generasi pemegang tongkat estafet perjuangan dalam membangun bangsa ini. Perjalanan yang jauh dimulai dari satu langkah pasti begitupun juga dalam melakukan sebuah kebaikan harus dimulai dari diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar